Pada suatu hari ada seorang murid mendatangi guru. Dia sering tidak bisa menahan diri untuk berkata kasar dan marah-marah setiap kali melihat ada hal yang menurutnya salah. Apalagi terhadap orang yang tidak disukainya, dia pasti marah-marah walaupun untuk urusan kecil.
Dia menyesal setiap kali sadar setelah kemarahannya reda. Dia merasa sedih karena tidak bisa menahan amarahnya. Oleh karena itu dia minta nasihat kepada guru.
Oleh guru kemudian dia disarankan untuk menyiapkan palu dan paku besar di rumah. Setiap kali sadar sedang marah atau berkata kasar, dia harus segera menghentikannya dan kemudian memakukan sebuah paku ke pagar. Setiap malam dia diminta sang guru datang kepada sang guru untuk menceritakan pengalamannya hari itu.
Dia menerima nasihat guru itu dan bertekad untuk melaksanakannya.
“Berapa paku yang kau tancapkan hari ini?” tanya sang guru “Dua puluh paku guru,” jawabnya dengan menunduk sedih. Dia baru menyadari bahwa hampir setiap jam dia melakukan kesalahan yang tak dikehendakinya.
Guru tak memberikan komentar apa-apa. Dia hanya meninta untuk meneruskan kegiatan itu dan kembali lagi minggu depan.
Satu minggu kemudian dia datang kepada guru dengan wajah bersei-seri. “Terima kasih guru atas nasihatnya. Sedikit demi sedikit aku bisa mengurangi paku yang aku tancapkan di pagar.” Katanya dengan gembira. “Dan akhirnya hari ini aku sama sekali tidak marah dan tak berucap kasar, sehingga tak ada satu pun paku yang aku tancapkan hari ini.”
“Bagus sekali,” kata sang guru menyambut ceritanya dengan bahagia , senang melihat kebulatan tekad muridnya untuk memperbaiki dirinya. “Nah, untuk setiap hari dimana kamu bisa menahan amarahmu, kamu boleh mencabut satu paku yang tertancap di pagar itu.”
Hari-demi hari berlalu, minggu demi minggu berlalu. Sampai suatu ketika murid datang lagi kepada guru. “Guru akhirnya aku berhasil mencabut semua paku.” “Bagus sekali,” kata guru. “Luar biasa sekali yang kamu lakukan.” Boleh kita kerumahmu untuk melihat apa yang sudah kamu lakukan selama ini?” “Tentu saja guru.”
Lalu berjalanlah mereka semua ke rumah murid. Mereka berdua memandangi pagar yang bersih tanpa paku. Tetapi pagar itu terlihat buruk karena banyak lubang-lubang bekas paku.
“Anakku,” kata sang guru. “Kamu sudah berhasil melakukan hal yang luar biasa dengan mengalahkan kemarahanmu. Tapi kamu juga perlu tahu tentang apa-apa yang selama ini sudah kamu lakukan dengan kemarahan dan kata-katamu. Ketika kamu menyatakan kemarahanmu dan kata-kata yang menyakiti orang lain, maka sesungguhnya kamu telah menancapkan paku pada hati orang lain. Tak ada bedanya kemarahan yang kamu sengaja ataupun tidak kamu sengaja, keduanya berakibat buruk kepada orang lain.”
“Tak cukup bagimu sekedar menyesali diri dan meminta ampun kepada Tuhan. dan permintaan maafmu kepada orang yang telah kamu sakiti adalah ibarat mencabut paku yang telah kamu tancapkan. Tetapi kamu lihat, mencabut paku pun tak berarti luka yang kamu akibatkan itu telah sirna. Lubang luka itu tetap ada dan harus di sembuhkan. Oleh karena itu jangan sekali-kali meremehkan kemarahan atau kata-kata burukmu kepada orang lain. Luka karena kata-kata sama buruknya dengan luka akibat benda fisik.
(Dinarasikan ulang oleh Sumardiono, penulis asli tak diketahui)